Masalah Pelaksanaan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah
Di
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama : Cipta Gloria
NPM : 10 851 0015
Universitas Medan Area
2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah
memberikan rahmat dan hidayahNya kepada saya,
hingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya, guna menambah pengetahuan seluruh mahasiswa/wi FISIPOL Universitas
Medan Area Program Pendidikan Ilmu Pemerintaha pada khusunya dan mahasiswa/wi
Universitas Medan Area secara keseluruhan.
Pada
kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih keapada dosen saya bapak Rudi Salam
Sinaga, S.Sos, M.Si, yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang turut dalam membantu saya
menyelesaikan makalah ini
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan
tangan terbuka penulis menerima segala keritik dan saran guna untuk
kesempurnaan makalah ini di masa mendatang.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Medan, 23 September
2011
Cipta Gloria
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Telaah Pustaka ............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
B.1. Perimbanggan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah ...................... 3-5
B.2. Dilema atau Permasalahan yang Terjadi .................................................................. 6-9
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan ................................................................................................................... 10
b. Saran ............................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu
bentuk intergral yang dilakukan pemerintah dengan melakukan pembangunan yang
merata di seluruh wilayah menyeratkan indikasi keseriusan dari para pemimpin
negara kita untuk kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya. Salah satunya
dengan diberlakukannya UU No. 25 Tahun 1999 pada januari 2001, mengenai
desentralisasi fiskal, yaitu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 18A ayat 2 dimana termuat “*(2) Hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang”.
Mengingat Indonesia merupakan negara
kesatuan yang memiliki banyak pulau yang terbentang luas dari sabang hingga
maroke. Dengan kedudukan ibu kota negara berada di jakarta, permasalah yang
telah lama muncul akibat dari begitu luasnya negara kita adalah, apakah
pemerintahan pusat berlaku adil terhadap pemerintahan yang ada di daerah, baik
sebelum dan setelah adanya kebijakan mengenai otonomi daerah (Desentralisasi).
Desentralisasi memberikan implikasi
yang bervariasi terhadap kegiatan pembangunan antar daerah, tergantung pada
pengaturan kelembagaan, dan desain menyeluruh dari pembagian wewenang dan
perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah. Risiko paling besar
adalah ketika sumber utama penerimaan pemerintah diserahkan kepada pemerintah
daerah tanpa diikuti langkah-langkah kebijaksanaan yang menjamin mobilisasi
pendapatan daerah untuk membiayai berbagai pelayanan publik yang menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah.
Permasalahanaya sekarang adalah
apakah pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut mampu memberikan dampak
positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran
sektor publik, serta kebijakan fiskal dan desain sumbangan pemerintah pusat
kepada daerah.
B. Rumusan
Masalah
B.1.
Bagaimanakah perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerntah daerah?
B.2.
Apakah dilema atau permasalahan yang terjadi antar keduanya?
C. Telaah
Pusataka
C.a. Tinjauan Dari Segi Perundang-undangan
·
UUD 1945 Pasal 18A ayat 2(**), mengenai
hubungan pemerintah pusat dan daerah,
·
UU No. 25 Tahun 1999, mengenai
perimbangan keuangan antara pusat dan,
·
UU No. 22 Tahun 1999 Bab IV Pasal 78 S/d
80, mengenai keuangan daerah dan dana perimbangan,
·
UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 13,
mengenai perimbangan keuangan yang adil,
proporsional,
demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan desentralisasi,
- UU No. 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 3
mengenai pengertian pengertian perimbangan keuangan, ayat 19 mengenai
pengertian dana perimbangan, ayat 20 mengenai dana bagi hasil, ayat 21
mengenai DAU.
PEMBAHASAN
B.1. Perimbangan keuangan pemerintah
pusat dan pemerntah daerah
Dengan diundangkannya UU No.22 dan
25 Tahun1999 sebagai awal dari pelaksanaan desentralisasi fiskal ditegaskan
bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan suatu
sistem pembiyayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencangkup
pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan di
setiap daerah yang dilaksanakan secara proposional, demokratis, adil dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan
dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan
kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Disadari bahwa masalah perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang indentik dengan muatan
ketatanegaraan, politik, sosial budaya, ekonomi, dan administrasi negara secara
keseluruhan, maka masalah perimbangan keuangan sebenarnya hanyalah refleksi
dari pembagian kekuasaan antara instansi, baik pusat maupun daerah, untuk itu beberapa
kriteria-kriteria dalam kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah yakni :
- Pemberian
otonomi daerah yang lebih luas, dimana daerah otonom diberi kebebasan dalam menentukan prioritas dan pengambilan
keputusan disektor publik serta bersifat fleksibel;
- Tersedianya
sumber-sumber penerimaan daerah yang memadai untuk menjalankan tugas dan fungsinya;
- Bantuan
yang di serahkan pusat ke daerah sesuai dengan porsi serta kemampuan
daerah untuk mengelola dana bantuan tersebut;
- Pusat
harus menjamin ketersedian dana setiap daerah otonom;
- Dalam
pemberian DAU pemerintah harus besifat netral dan sesuai dengan kebutuhan
daerah otonom
- Kesederhanaan,
formula pembagian bantuan pusat kepada daerah otonom (hindari kriteria
pembagian ambigous dan tidak operasional);
- Insentif,
pemerintah harus dapat membinana daerah otonom untuk melakukan efisiensi
ekonomi dalam menentukan pelayanan sektor publik;
- Memberikan
kebebasan yang bertanggung jawab terhadap daerah otonom untuk menjalankan
kegiatan pemerintahannya serta pelayanan yang perima kepada masyarakat;
- Kewenangan
penuh daerah otonom dalam jangka panjang yang di berikan pusat ke daerah
secara bertahap untuk mencangkup semua kewenangan dalam bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional dan
kebijakan strategis nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan (terutama
mencangkup perumusan kebijakan, pengendalian pembangunan sektoral dan
nasional dan kebijakan standarisasi nasional).
Dasar dari kesepuluh kriteria
tersebut secara garis besar telah dimuat dalam UUD 1945 Pasal 18A ayat yang
ke-2 dimana “ Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.
Beberapa pertimbangan dalam
pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah :
- Peningkatan
efisiensi pelayanan pada sektor publik;
- Mengaudit
permasalahan keuangan yang mengalami ketimpangan untuk memperoleh
keseimbangan keuangan;
- Peningkatan
pelayanan dengan menerapkan standart pelayanan yang minimum.
Dampak langsung penyerahan fungsi
yang diserahkan kepada daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999, membutuhkan
dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya
tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber pembiayaan, baik melalui
pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan
pemberian kewenangan untuk melakukan pinjaman. Sistem pembiayaan tersebut
merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan yang
selama ini berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah
menjadi sangat jelas.
Keleluasaan Kepela Daerah telah diberikan
untuk memungut pajak/retribusi sesuai dengan yang diatur dalam UU No.18 Tahun
1997 yang telah disempurnakan dengan UU No.34 tahun 2000 yang lebih memberikan
kewenangan kepala Daerah. Dalam aturan itu pemerintah kabupaten/Kota diberikan
kewenangan untuk memungut pajak selain yang ditetapkan dalam UU yang harus
memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan provinsi juga
diberikan kewenangan untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.
Selain itu, bentuk kebijakan
perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui dana perimbangan diharapkan dapat
menanggulangi ketidakmampuan daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluarannya
dari pajak dan retribusi. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajak
dan SDA yang disebut dengan bagian daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Penerimaan pajak yang dibagi hasilkan yaitu pajak
penghasilan perorangan, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan (BPHTB); sedangkan penerimaan SDA yang dibagi hasilkan
adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.
Dana bagi hasil dimaksud diakui akan
menyebabkan variasi antar daerah karena didasarkan atas daerah penghasil
sehingga hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu. Namun demikian, variasi
antar daerah tersebut dapat diantisipasi melalui DAU yang diberikan dan
didesain dengan mempertimbangkan sisi kemampuan keuangan dan kebutuhan daerah.
Dengan kata lain, DAU ditujukan untuk pemerataan keuangan antar daerah sehingga
semua daerah mempunyai kemampuan yang relatif sama untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya.
B.2. Dilema atau permasalahan yang
terjadi
Indonesia merupakan negara yang baru
dalam menetapkan sistem desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, jadi
tidak dapat kita lari dari kenyataan akan banyaknya permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan desentralisasi terutama dalam bidang keuangan, berikut
beberapa permasalahan yang kerap di hadapi dalam pelaksanaan kebijakan keuangan
antara pusat dan daerah antara lain :
a)
Pungutan
Daerah
Sesuai dengan pemberian kewenangan
kepada daerah untuk mengenankan pungutan baru selain yang ditetapkan UU No.34
Tahun 2000 jo PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah, telah banyak menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaannya. Dengan kewenangan tersebut, banyak daerah telah menghidupkan
kembali pungutan-pungutan yang dulunya telah dihapus/dilarang dengan UU No.18
Tahun 1997. Tindakan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila daerah
mematuhi ketentuan yang berlaku dimana telah ditetapkan secara tegas kriteria
dari pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah.
Sesuai
dengan penggunaan PAD dalam rangka kemandirian pembiayaan daerah adalah
kewenangan perpajakan (taxing power), daerah yang sangat terbatas akan sumber
daya tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD. Kondisi seperti ini
tidak menunjang keadaan yang setabil dalam penggunaan anggaran daerah, di mana
keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai kebutuhan daerahnya
idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tarif
pajak daerahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah
diperbesar.
c)
Perimbangan
Keuangan
Pelaksanaan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah terkesan dibiarkan berjalan
sendiri tanpa ada pembimbing dalam pergerakannya, karena masalah pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah saja masih belum menemukan titik temu di
antara keduanya. Pembiayaan yang seyogianya akan mengikuti kewenangan yang
diserahkan namun di biarkan berjalan di depan tanpa ada penuntun arah yang
jelas, sehingga perhitungan DAU yang akan dialokasikan kepada daerah tiadak memiliki gambaran yang jelas tentang besaran
beban pelimpahan kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah. Namun dari
keadaan tersebut, pada era awal-awal pelaksanaa desentralisasi bidang keuangan
telah menghadapi ketidaksesuaian pembiayaan baik positif maupun negatif. Ini
disebabkan karena adanya kessenjangan antara pusat dan daerah serta adanya
wilayah atau ruang lingkup yang tidak terbukak yang cukup luas dalam pemisahan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengaturan yang ada
hanya memuat bahwa yang mengatur kewenangan adalah pusat dan provinsi,
sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota tidak ada kejelasan dari
peraturan yang ada, sementara seharusnya kewenangan kabupaten dan kota adalah
kewenangan yang terlepas dari kewenangan pusat dan provinsi.
Salah satu indikator yang mungkin
bisa dijadikan tolok ukur dalam melihat adanya ketidak sesuaian adalah dari
proses transfer pegawai dari pusat ke daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
serta dari provinsi ke kabupaten/kota. Sampai saat ini proses pengalihan pegawa
daerah provinsi menjadi pegawai daerah kabupaten/kota belum selesai. Sementara
provinsi justru telah menerima pengalihan pegawai dari pemerintah pusat (akhir
bulan maret 2001). Dipihak lain, sumber keuangan daerah provinsi semakin berkurang
namun beban pembiayaan khusunya dari beban belanja pegawai justru mengalami
peningkatan.
d)
Bagi
Hasil
Dalam
rangka penyaluran dana bagi hasil juga dihadapkan dengan beberapa dilema, walaupun secara umum
dapat dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam penetapan bagi hasil kepada daerah
terutama dari SDA yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.343
Tahun 2001 tidak menyebut secara tegas apakah penyaluran berdasarkan realisasi
atau budget APBN Tahun 2001. Jika penyaluran dilakukan atas dasar budget, maka
APBN Tahun 2001 tidak sanggup menutup kekurangannya dikarenakan beberapa sektor
penerimaan SDA tidak dapat memenuhi target penerimaan yang ditetapkan dan bahkan
relatif sangat kecil, seperti penerimaan SDA sektor perikanan. Sementara jika
dilakuakan atas dasar realisasi, maka pelaksanaan penyaluran dalam Triwulan IV
pada bulan Desember 2001 tidak dapat dilakukan karena tahun anggaran berkahir
pada tanggal 31 Desember 2001, sehingga konsekuensi realisasi penyaluran dalam
Triwulan IV harus dicarry over dalam tahun berikutnya. Jika hal ini ditempuh
akan menyulitkan cash flow di daerah mengingat. Daerah sudah menetapkan bagi
hasil tersebut dalam APBD Tahun 2001, sedangkan sebagian dari penerimaan bagi
hasil SDA dalam tahun anggaran berjalan baru dapat diterima dalam tahun
anggaran berikutnya.
Untuk itu perlu dilakukan
penyempurnaan penyaluran dana bagi hasil yang didasarkan atas dasar realisasi
penyaluran dilakukan secara periodik tiap minggu, bulanan atau triwulanan
tergantung jenis penerimaannya. Dengan mekanisme seperti itu, maka kelancaran
likuiditas keuangan daerah dapat terjaga, dapat mengurangi resiko yang harus
ditanggung APBN apabila realisasi penerimaan yang menjadi hak daerah lebih
kecil dari yang telah ditetapkan, dan daerah dapat lebih menggunakan perinsip
kehati-hatian serta menjaga akuntabilitas atas penyusunan dan pelaksanaan
APBD-nya.
e)
Penetapan
Dana Alokasi Khusu (DAK)
Dalam penetapan DAK, masih ada
keengganan pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana di luar Dana Reboisasi
(DR). Hal ini tercermin dengan pelaksanaan APBN dalam tahap awal pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang masih menganggarkan DAK dari DR saja. Selayaknya
dengan pelaksanaan otonomi daerah, anggaran sektoral di APBN sudah dapat
ditekan. Hal ini mengingat sebagian besar kewenangan sudah beralih ke daerah
sebagai kewenangan desentralisasi. Namun dalam kenyataannya masih terdapat
kegiatan-kegiatan desentralisasi yang masih dibiayai oleh anggaran sektoral,
walaupun dalam pelaksanaannya dilakukan oleh daerah melalui dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
f)
Formula
Dana Alokasi Umum (DAU)
Sesuai dengan penetapan DAU, diamana DAU
digunakan guna perimbangan keuangan keuangan antar daerah, dana ini digunakan
untuk menutup adanaya perbedaan yang muncul akibat kebutuhan suatu daerah
ternyata jauh dari kemampuan dana yang ada di daerah atau potensi daerah
tersebut, kemudian dalam pengaturannya daerah yang memiliki potensi keuangan
yang relatif besar akan memperoleh DAU yang relatif kecil dibandingkan dengan
daerah yang miskin secara keuangan. Dalam perhitungan DAU tahun 2001 diakui
memang terdapat banyak kelemahan sehingga konsep fiscal gap belum dapat
dioptimalkan dan daerah-daerah maju/kaya juga memperoleh DAU yang relatif
besar. Kondisi ini dicoba untuk diperbaiki dengan formula DAU yang lebih
efektif dan digunakan dalam perhitungan DAU tahun 2001, sehingga ada beberapa
daerah yang penerimaan DAU-nya tahun 2001 dikoreksi dan memperoleh DAU yang
lebih kecil dibandingkan tahun 2001.
Adanya penurunan DAU telah
menimbulkan kecaman keras dari beberapa daerah yang mengalami penurunan
tersebut dan mengharap kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali formula
dan perhitungan agar tidak terjadi penurunan. Dalam hal ini, ada perbedaan pola
pandang antara pusat dan daerah mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat,
alokasi DAU dimaksudkan sebagi alat
untuk pemerataan atau mengisi keuangan di dalam strurktur keuangan
daerah, sementara bagi daerah, alokasi DAU dimaksudkan untuk mendukung
kecukupan daerah (sufficiency). Perbedaan tersebut sering bermasalah ketika
daerah minta kepada pusat untuk memberikan DAU sesuai dengan kebutuhan daerah.
Penurunan DAU tahun 2002
dibandingkan dengan DAU tahun 2001 yang dialami beberapa daerah telah
diakomodasi oleh Panitia Anggaran DPR-RI, sehingga dengan pertimbangan bersifat
politis telah menginstruksikan pemerintah pusat untuk melakukan penyesuaian
dengan batasan bahwa tidak ada daerah yang mengalami penurunan DAU tahun 2002
atau minimal sama dengan penerimaan DAU tahun 2001 di tambah Dana Kontinjensi 2001.
Paradigma ini menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal khususnya
alokasi DAU dalam rangka perimbangan keuangan antar daerah untuk mengatasi
horizontal imbalance belum dapat dilakukan secara optimal dan masih memerlukan
tahap-tahap selanjutnya dalam memantapkan pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dilema dalam perimbangan keuangan
pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak terdapat kejelasan mengenai
ketentuan mengenai dimana posisi masing-masing di antara keduanya, karena
pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya sebagai suatu keharusan
dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang mulia terutama bagi
pemerintah pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan terhadap pemerintah
kabupaten dan kota, sedangkan seharusnya kewenangan kabupaten dan kota
merupakan kewenangan yang bebas dari kewenangan pusat dan provisi. Kemudian
dalam penetapan DAU seharusnya kita tidak hanya menyalahkan pemerintah saja
karen penurunan DAU yang di berikan pemerintah, karena DAU yang di turunkan ke
setiap daerah itu setelah melalui pertimbangan mengenai potensi yang ada di
daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar namun SDM dan kuranganya
pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana tersebut akan ditarik
kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar di pusat yang
kemudian akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sewajanya menggunakan dana
tersebut yang menyebabkan adanya korupsi.
Namun ini semua juga tidak dapat kita menyalahkan siapapun, karena kita
tahu bahwa proses desentralisasi fiskal ini masih baru di negara kita jadi kita
masih dalam masa proses perbaikan dari masa sentralisasi menjadi desentralisasi
murni, namun kita harus trus bersabar dan bersama-sama melakukan perubahan yang
mendasar yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi
pemerintahan yang lebih dalam lagi.
b. Saran
- Kiranya baik pemerintah pusat
maupun daerah mengkaji ulang mengenai masalah pemisahan kewenangan antara
mereka,
- Baik pemerintah pusat dan provinsi
kiranya memeberikan kewenangan bagi pemerintah kabupaten dan kota sebagai
mana mestinya,
- Pemerintah daerah diharapkan dapat
meningkatkan SDM daerah dan dapat membuat program-program yang bermanfaat
bagi masyarakat, jadi tidak ada lagi seminar mendesak setiap akhir tahun
agar DAU dapat berfungsi dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Haris Syamsuddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ( Desentralisasi, Demokratisasi dan
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah), Penerbit LIPI Press, Cetakan Kedua,
Jakarta 2005
Richrd M.Bird, Desentralisasi Fiskal di Negara-negara
Berkembang, Gramedia, 2000,
hlm 2.
UUD
1945 dan Amandemennya, Penerbit
FOKUSMEDIA, edisi 2011, Bandung 2011
Sumber Online :
1. UU
No. 25 Tahun 1999
2. UU
No. 22 Tahun 1999
3. UU
No. 32 Tahun 2004